
Kutelan
ludahku sendiri. Berdiri di hadapannya. Diam terpaku. Saling menatap dan
mencari kalimat yang tepat untuk waktu yang cukup lama. Tak lagi kulihat
sorotan sinar di bola matanya. Senyum tulus itu kini telah hilang. Temaram
lampu cafe menyinari sebagian wajahnya yang masih tampan seperti dulu. Namun,
kemeja yang lengannya digulung hingga siku, celana skinny jeans yang sangat pas
di kakinya, rambutnya yang disisir rapi belah samping, juga kacamata minus yang
bertengger di atas hidung mancungnya, itu benar-benar membuat penampilannya
jauh berbeda dari saat terakhir kali aku melihatnya.
Saat kepingan kisah cinta
berkumpul menyatu dalam hatiku. Saat itu pula kepingan itu retak dan pecah tak
beraturan.
Bulan
terakhir pada lima tahun silam. Musim dimana langit lebih sering menangis
memberi sedikit kesegaran di atas kulit bumi. Dimana Tuhan mempertemukan kami
untuk pertama kalinya saat hujan mengguyur kota Semarang. Saat itu ayah tak
dapat menjemputku karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Dengan
terpaksa aku duduk menyendiri di pos satpam di belakang gerbang pintu masuk
sekolah. Dalam dingin, aku terus berharap semoga hujan ini lekas berhenti. Jika
tidak, aku tidak tahu kapan aku akan keluar dari tempat ini dan segera
menyeberang ke halte di seberang sekolah agar dapat segera pulang ke rumah.
Sesekali aku menengok jam yang melilit tangan kiriku dan mengintip keluar dari
jendela kaca yang sudah dialiri oleh tetesan air hujan.
Aku tak dapat
menunggu hujan reda lebih lama lagi. Sekarang juga aku harus nekat pergi dari
sini meski harus bergelut dengan guyuran air hujan yang semakin deras. Aku pun
menuju ke arah pintu pos satpam. Berdiri di atas teras dan kembali meyakinkan
diri untuk menyatu bersama hujan. Sedetik sebelum aku mengayunkan kaki untuk
meninggalkan pos satpam ini, seseorang telah berdiri tepat di sampingku dengan
payung abu-abu yang kini sudah berada di atas kepala kami. Aku menengok
memandang wajah orang yang tiba-tiba muncul di waktu seperti ini. Seorang cowok
berkulit sawo matang dengan mata sipit yang sangat berbinar tersenyum manis
padaku. Saat tersenyum seperti ini, matanya semakin menyempit hingga terlihat
seperti sebuah garis saja. Masih dengan senyum mulut tertutupnya, ia berkata
padaku,
“Nada, mau ke
halte, kan? Bareng, yuk!”
Siapa dia? Aku
tak pernah melihat ia sebelumnya. Dia begitu asing bagiku. Namun darimana ia
bisa tahu namaku? Apakah ia mengenalku? Ah, apa peduliku? Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul di benakku segera terhapus oleh satu keinginanku yang begitu
mendesak; pulang. Oleh karena itu, tanpa pikir panjang lagi aku pun
meng-iya-kan ajakannya.
Kami berjalan
pelan beriringan di bawah payung abu-abu miliknya. Dalam menepis hujan yang tak
kunjung reda, kami hanya terdiam. Cipratan air yang naik karena langkahku yang
terlalu cepat membuat diriku sendiri sedikit kewalahan karena harus ekstra
hati-hati agar sebisa mungkin menghindar dari kubangan air yang dapat mengotori
kaus kaki putihku. Hingga pada akhirnya cowok yang belum kukenal inilah yang
sepenuhnya memegang gagang payung untuk melindungi kami berdua dari tetesan air
yang turun dari langit. Dengan seperti ini aku terlihat seperti seorang majikan
yang tengah dikawal oleh bodyguardnya.
”Terimakasih,
ya,” ucapku pendek setelah kami tiba di halte. Aku melihat ke kiri, tak da
tanda-tanda bus akan segera datang. Aku melihat ke belakang, bangku halte sudah
penuh, maka kuhabiskan waktu menungguku dengan berdiri. Tentunya masih bersama
cowok asing di sampingku ini.
“Oya, Nad.
Mungkin kamu belum kenal aku, ya? Namaku Abe, kelas dua belas IPS dua. Aku ikut
ekskul seni vokal juga, makanya aku kenal sama kamu.” Cowok itu berkata dengan
sangat santai, layaknya dengan orang yang telah akrab lama dengannya. Ia
kemudian menutup payung lipatnya. Ah, bahkan sebagai ketua ekstrakurikuler pun
aku tak mengenali anggotanya sendiri.
“Eh, Nad, itu
busnya sudah datang,” Cowok bernama Abe itu menunjuk bus yang mulai mendekat ke
halte sebelum aku sempat berkomentar pada pernyataannya barusan. Tanpa menunggu
lama lagi, setelah bus tepat berada di depan halte, aku pun segera
berdesak-desakan dan berlomba untuk masuk ke dalam bus berpintu dua itu bersama
penumpang lain. Beruntunglah aku masih mendapatkan tempat duduk untukku
bersandar. Sejenak melepaskan penat dan lelah di bahu setelah menggendong tas
pungung yang cukup berat. Hei! Aku melupakan seseorang. Dimana Abe? Aku menngok
ke depan dan belakang, mencari sosok cowok yang masih misterius itu. Tapi
nihil. Aku tak menumukannya di bus ini. Aku mencoba melihat sekolahku dari
jendela bus yang berada di sampingku. Kulihat sorang cowok dengan payung
abu-abunya berjalan masuk ke gerbang sekolah.
Perlahan
bus berjalan meninggalkan halte yang mulai sepi. Pikiranku ikut berjalan jauh
berkelana kesana-kemari. Terbang bersama pertanyaan yang muncul dan bersarang
di otakku. Kenapa dia mengantarku, padahal ia sendiri belum akan pulang? Tapi
sudahlah. Aku tak perlu memikirkan hal itu. Masih banyak tugas dan pekerjaan
yang sudah menantiku di rumah.
***
Rupanya
hjan masih setia dan tak mau pergi hingga malam tiba. Untuk kali ini, entah kenapa
aku memilih untuk mengerjakan tugas sekolah di atas balkon kamar. Ditemani oleh
kilauan lampu kota yang menghiasi kota Semarang malam. Serta iringan gemericik
air hujan yang berjatuhan di atas atap balkon yang menjadi alunan musik yang
sangat menyenangkan kala didengar. Kaus lengan panjang saja tak cukup untuk melindungiku
dari udara dingin yang menyerang. Dengan begitu, aku pun melapisinya dengan
cardigan rajut yang cukup menghangatkan.
Ting!
Sebuah
ikon Blackberry Messenger dengan bintang merah di atas salah satu sudutnya
mucul di layar ponselku. Aku meletakkan pensil yang sedari tadi kupegang dan
segera beralih pada ponsel yang telah berhasil menyita perhatianku. Astaga!
Sebuah BBM datang dari seorang kakak kelas yang selama ini sangat kuidolakan.
Dia cowok drummer di ekskul grub band sekolahku. Dia yang selama ini memicu
jantungku untuk berdetak lebih cepat, membuat aliran darahku semakin deras,
sesak pada paru-paruku yang seolah menyempit, serta kelu pada lidahku. Dia
cowok keren yang akhir-akhir ini mndekatiku. Kak Erik!
Nad,
sebentar lagi, kan, ulang tahun SMA
kita. Kamu mau, nggak, tampil bareng
ekskul grub band?
Ini
tawaran yang sangat menguntungkan. Selain bisa tenar karena dapat menyanyi di
atas panggung, aku juga mempunyai kesempatan untuk semakin dekat dengan Kak
Erik saat latihan nanti. Aku sedikit menimbang-nimbang. Kesempatan seperti ini
tak akan datang untuk kedua kalinya. Setelah mejawab “ya”, kini hari-hariku pun
penuh dengan jadwal latihan musik untuk tampil dalam waktu yang makin hari
makin dekat.
Hingga
hari itu akhirnya tiba. Aku berdiri dan menyanyi di atas panggung. Melihat
sepasang mata yang menatapku lekat di akhir lagu yang sedang kubawakan. Mata sipit
yang seperti pernah kukenal. Dia anak seni vokal yang mengantarku ke halte saat
hujan turun beberapa waktu yang lalu. Abe! Dia diam mematung di tengah kerumunan
orang yang sedang larut dalam musik yang sedang kupersembahkan. Tatapannya
mengunci mataku dan seolah ingin berkata sesuatu. Tangan yang sedari tadi ia
lipat di depan dadanya kini terangkat dan menunjuk ke suatu arah. Kurasa ia
memintaku untuk menemuinya nanti.
Setelah
lagu selesai, aku pun hanya menurut pada perintahnya. Dan sekarang, di sinilah
kami berdua. Di taman sekolah yang berada agak jauh dari panggung. Aku duduk di
sebelahnya. Di bangku putih yang lebih sering diduduki oleh pasangan siswa-siswi
untuk berduaan. Dan kami? Ah, bahkan kenal saja baru beberapa hari yang lalu.
Aku bahkan tak peduli kenapa ia mengajakku kemari.
“Nad,”dia
menyebut namaku. Aku menoleh. Sebuah senyuman manis mengembang di bibir cowok
yang memakai kaus polo ini. Aku hanya membalas dengan senyum yang sangat
kupaksakan. Kurasa dia terlalu berlebihan, aku baru melihatnya dalam dua kali
pertemuan dan dia sudah mengajakku untuk berduaan? Tidakkah ia salah dalam
memilih waktu?
“Aku
mau kasih ini buat kamu. Datang ya.” Ia memberiku sebuah undangan pesta ulang
tahun dan segera pergi meninggalkanku begitu saja. Di bagian depan kartu
undangan tersebut tertulis sebuah nama: Adrian Bima Ervino. Mungkin itu nama
asli Abe. Aku segera mengalihkan pandanganku. Menatap punggung sang pemberi
undangan ini yang mulai menjauh dari pandanganku. Menghilang dari jangkauan
mataku. Ia yang memintaku untuk pergi menemuinya di sini dan sekarang ia yang
pergi meninggalkanku terlebih dahulu tanpa berpamitan. Menyebalkan.
“Hai,
Nad. Ngapain disini sendirian?” Sepasang kaki melangkah mendekatiu. Aku
mengenali suara berat itu. Suara yang telah berhasil meluluhan seluruh perasaan
kesalku pada Abe. Siapa lagi kalau bukan Kak Erik? Ia duduk di sampingku.
Matanya menangkap sebuah kartu undangan di tanganku. Kemudian mengeluarkan
kartu undangan yang sama persis dari saku celananya.
“Kamu
dapat ini juga?”, tanyanya. “Berangkat bareng,mau, nggak? Besok aku jemput jam
enam sore, OK?” Lanjutnya seolah sudah thu jawaban yang akan kuberikan atas
ajaknnya.
Seperti
yang telah dijanjikan, esok hari setelah surya pulang pada rumahnya, sebuah
mobil yang dikendarai oleh seorang cowok jangkung berpenampilan sangat keren
membawaku datang pada pesta ulang tahun Abe. Sungguh, sebenarnya aku tak punya
sedikitpun niat dan minat untuk datang ke acara ini. Namun ajakan dari cowok di
sampingku ini terlalu sayang untuk ditolak. Jadilah sekarang aku datang bersama
Kak Erik bagai sepasang kekasih. Kami berjalanan beriringan dan ia menggandeng
tanganku.
Merasa
tak nyaman dengan tatapan ‘membunuh’ cewek-cewek di ruangan pesta yang
memandangi kami berdua, aku pun meminta Kak Erik untuk pergi ke tempat lain dan
meninggalkanku untuk saat ini. Saat aku tengah sendirian dan mencari seseorang
untuk dijadikan sebagai teman ngobrol, si pemilik acara datang menghampiriku
dengan buket mawar merah yang dibungkus dengan sangat cantik.
“Aku
sayang kamu, Nad,” ucapnya tiba-tiba seraya menyerahkan buket itu padaku. Aku mengulurkan
tangan untuk menerimanya meski dengan perasaan yang tidak tulus. Aku tidak
menyayangi, menyukai, atau bahkan mencintainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti
hatinya dengan menolak buket pemberiannya itu. Aku menerima buket tersebut
bukan karena aku mempunyai perasaan yang sama terhadapnya. Aku lebih tertarik
dengan Kak Erik. Dia yang lebih tampan dan lebih keren. Lebih tenar dan lebih
diperebutkan cewek-cewek di sekolahku. Mawar ini bukan berarti apa-apa. Aku
hanya menanggapnya seagaimana pemberian pada umumnya. Yang harus diterima dan
disertai ucapan terimakasih. Tak ingin berlama-lama dengan suasana canggung
seperti ini, aku pun meminta ijin pada Abe untuk berkeliling sebentar. Ia hanya
mengangguk dan membiarkanku pergi.
Aku
berjalan tak tahu harus kemana. Yang kuinginkan hanyalah tidak berduaan bersama
Abe. Bahkan sangat sulit untuk ku percaya kalau ternyata Abe menyayangiku. Aku
merasa risih dengan pernyataan sayang dari seorang cowok yang hanya baru
beberapa hari kukenal.
“Malam
ini kamu cantk sekali, sayang,” kudengar suara yang keluar dari mulut seorang
cowok yang sangat familiar ditelingaku. Cowok tenar yang selalu menyita
perhatianku, Kak Erik. Dia tengah duduk berduaan bersama seorang perempuan
asing yang tak kukenali. Seperti ada petir yang menyambar dadaku. Menghantam
dan membakar jiwaku. Menimbulkan rasa yang teramat sakit pada seluruh jiwaku.
Aku sungguh tak percaya Tuhan akan membiarkanku melihat kejadian mengejutkan
seperti ini. Tak kusangka ternyata Kak Erik menyukai perempuan lain. Munkin aku
terlalu percaya diri menganggap bahwa diriku adalah satu-satunya cewek yang
mendapat perhatian darinya.
Kelopak
mataku kini terasa sesak dan tak muat lagi untuk terus kujadikan bendungan bagi
air yang keluar dari mataku. Aku membalikkan badan dan kini tepat dihadapanku
telah berdiri seorang cowok yang beberapa menit lalu memberikan buket mawar
kepadaku. Entah ada angin dari mana tiba-tiba ia memelukku begitu erat.
Pelukannya begitu hangat dan menenangkan. Tak sengaja air ataku keluar
membasahi bahunya. Ia kemudian melepaskan dekapannya dariku. Memegang kedua pundakku
dan menatap lekat pada kedua bola mataku.
“Nada,
aku mohon lupain dia. Belajarlah untuk mencintaiku,” ucapnya lembut namun penuh
penekanan. Tangannya menghapus air mata di pipiku. Pelan dan lembut. Tapi dari
arah belakang tiba-tiba Kak Erik datang dan menggandengku. Dia melihat buket di
tanganku dan aku pun menjatuhkannya. Kemudian aku menurut saat Kak Erik
mengajakku pergi dari tempat ini.
Hujan
tiba-tiba turun saat kami tengah dalam perjalanan pulang. Kurasa guyuran air
dari langit ini mengacaukan pesta ulang tahun Abe. Astaga! Apa yang telah
kulakukan padanya? Aku sendiri bahkan telah mengacaukan perasaannya dengan
menjatuhkan, membuang, dan meningalkan buket mawar yang ia berikan lalu pergi
begitu saja tanpa sepatah kata pun. Ya Tuhan. Bahkan aku lupa belum memberikan
ucapan selamat ulang tahun padanya. Aku tidak memberikan kado untuknya, tapi
justru ia yang memberikan bunga mawar kepadaku. Mungkin Desember ini menjadi
kado terburuk dihari ulang tahunnya. Sedangkan aku dengan bodohnya membiarkan diriku
diajak pergi oleh seorang cowok yang jelas-jelas baru saja menyakiti hatiku.
***
Sejak
malam itu, aku tak lagi berbicara dengan Abe, meski hanya sekedar texting. Aku
menghilang dari kehidupannya dan kegelapan datang di kehidupanku. Sedangkan Kak
Erik selalu tertangkap basah olehku tengah menjalin hubungan bersama
perempuan-perempuan yang selalu berbeda setiap minggunya. Dan kini kuputuskan
untuk menghilang pula dari kehidupanya. Aku mulai sering terbayang-bayang
dengan sosok Abe yang dengan ketulusannya mencintaiku. Buket mawar yang ia
berikan dan kujatuh dan tinggalkan, senyum manis di bibirnya, tatapan lekatnya,
pelukan hangat, serta usapan tangannya di pipiku terus-menerus menghantui
pikiranku. Membuatku gelisah dan sulit untuk tidur nyenyak selama lima tahun
terakhir.
Hingga
pada akhirnya sebuah pesan menegejutkanku. Pesan dari seorang pria yang teramat
kurindukan. Pria yang dulu cintanya telah kusia-siakan. Dari seorang pria
bernama lengkap Adrian Bima Ervino. Aku senang bukan main saat ia membuat waktu
untuk bertemu denganku. Apakah ia masih mencintaiku? Jika memang benar, maka
aku berjanji kali ini tak akan kusia-siakan cinta darinya untuk yang kedua
kali.
Dan
disinilah, di sebuah cafe kecil di pusat kota Semarang Tuhan menakdirkan kami
bertemu kembali setelah lima tahun lamanya tak saling jumpa. Senyum manis masih
setia menghiasi bibirnya. Namun kini wajahnya terlihat begitu dingin. Sedingin
cuaca yang datang di bulan Desember ini. Ia pun terlihat sebagai seorang pria
mapan yang berpembawaan serius dan sangat berwibawa. Kacamata yang menghalangi
mata sipitnya untuk menatapku secara langsung membuatnya tampak cerdas. Kami berbicara
tentang pekerjaan kami dan cuaca sekarang ini. Cuaca yang sama di bulan yang sama
seperti saat dimana aku menyayat dan mengoyak hati serta perasaannya. Obrolan
kecil ini begitu mengingatkanku pada musim hujan lima tahun yang lalu, saat ia
terakhir kali melihatku dan saat itulah pikirannya terbakar melihat buket
pemberiannya kubuang begitu saja.
“Aku
mau kasih ini buat kamu. Datang ya.” Lagi. Seperti lima tahun yang lalu. Abe
menyerahkan sebuah undangan kepadaku. Ukurannya lebih besar dan lebih mewah
dari yang dulu ia berikan padaku. Disana tertulis dengan huruf berukuran besar
yang tercetak tebal sepasang nama; Andin dan Abe. Kulihat gambar sepasang
cincin di bawahnya. Sesak di dada membatku sulit untuk bernafas. Tubuhku terasa
kaku dan jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan pada undangan ini. Tak lagi ada seseorang yang akan mengajakku datang
bersama di pesta pernikahan ini. Aku mengenang seluruh kisah pahit yang pernah
kuukir di dalam hati seoarng pria yang sedang duduk di depanku yang mana
sebentar lagi akan memulai hidup yang baru. Dengan cinta yang baru pula
tentunya. Air menggenang di pelupuk mataku. Membiarkan pikiranku kembali
mengingat bulan Desember lima tahun yang lalu.
0 komentar:
Posting Komentar