Jumat, 06 Februari 2015

Desember

                                      
            Kutelan ludahku sendiri. Berdiri di hadapannya. Diam terpaku. Saling menatap dan mencari kalimat yang tepat untuk waktu yang cukup lama. Tak lagi kulihat sorotan sinar di bola matanya. Senyum tulus itu kini telah hilang. Temaram lampu cafe menyinari sebagian wajahnya yang masih tampan seperti dulu. Namun, kemeja yang lengannya digulung hingga siku, celana skinny jeans yang sangat pas di kakinya, rambutnya yang disisir rapi belah samping, juga kacamata minus yang bertengger di atas hidung mancungnya, itu benar-benar membuat penampilannya jauh berbeda dari saat terakhir kali aku melihatnya.
Saat kepingan kisah cinta berkumpul menyatu dalam hatiku. Saat itu pula kepingan itu retak dan pecah tak beraturan.
            Bulan terakhir pada lima tahun silam. Musim dimana langit lebih sering menangis memberi sedikit kesegaran di atas kulit bumi. Dimana Tuhan mempertemukan kami untuk pertama kalinya saat hujan mengguyur kota Semarang. Saat itu ayah tak dapat menjemputku karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Dengan terpaksa aku duduk menyendiri di pos satpam di belakang gerbang pintu masuk sekolah. Dalam dingin, aku terus berharap semoga hujan ini lekas berhenti. Jika tidak, aku tidak tahu kapan aku akan keluar dari tempat ini dan segera menyeberang ke halte di seberang sekolah agar dapat segera pulang ke rumah. Sesekali aku menengok jam yang melilit tangan kiriku dan mengintip keluar dari jendela kaca yang sudah dialiri oleh tetesan air hujan.
Aku tak dapat menunggu hujan reda lebih lama lagi. Sekarang juga aku harus nekat pergi dari sini meski harus bergelut dengan guyuran air hujan yang semakin deras. Aku pun menuju ke arah pintu pos satpam. Berdiri di atas teras dan kembali meyakinkan diri untuk menyatu bersama hujan. Sedetik sebelum aku mengayunkan kaki untuk meninggalkan pos satpam ini, seseorang telah berdiri tepat di sampingku dengan payung abu-abu yang kini sudah berada di atas kepala kami. Aku menengok memandang wajah orang yang tiba-tiba muncul di waktu seperti ini. Seorang cowok berkulit sawo matang dengan mata sipit yang sangat berbinar tersenyum manis padaku. Saat tersenyum seperti ini, matanya semakin menyempit hingga terlihat seperti sebuah garis saja. Masih dengan senyum mulut tertutupnya, ia berkata padaku,

“Nada, mau ke halte, kan? Bareng, yuk!”

Siapa dia? Aku tak pernah melihat ia sebelumnya. Dia begitu asing bagiku. Namun darimana ia bisa tahu namaku? Apakah ia mengenalku? Ah, apa peduliku? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku segera terhapus oleh satu keinginanku yang begitu mendesak; pulang. Oleh karena itu, tanpa pikir panjang lagi aku pun meng-iya-kan ajakannya.
Kami berjalan pelan beriringan di bawah payung abu-abu miliknya. Dalam menepis hujan yang tak kunjung reda, kami hanya terdiam. Cipratan air yang naik karena langkahku yang terlalu cepat membuat diriku sendiri sedikit kewalahan karena harus ekstra hati-hati agar sebisa mungkin menghindar dari kubangan air yang dapat mengotori kaus kaki putihku. Hingga pada akhirnya cowok yang belum kukenal inilah yang sepenuhnya memegang gagang payung untuk melindungi kami berdua dari tetesan air yang turun dari langit. Dengan seperti ini aku terlihat seperti seorang majikan yang tengah dikawal oleh bodyguardnya.
”Terimakasih, ya,” ucapku pendek setelah kami tiba di halte. Aku melihat ke kiri, tak da tanda-tanda bus akan segera datang. Aku melihat ke belakang, bangku halte sudah penuh, maka kuhabiskan waktu menungguku dengan berdiri. Tentunya masih bersama cowok asing di sampingku ini.
“Oya, Nad. Mungkin kamu belum kenal aku, ya? Namaku Abe, kelas dua belas IPS dua. Aku ikut ekskul seni vokal juga, makanya aku kenal sama kamu.” Cowok itu berkata dengan sangat santai, layaknya dengan orang yang telah akrab lama dengannya. Ia kemudian menutup payung lipatnya. Ah, bahkan sebagai ketua ekstrakurikuler pun aku tak mengenali anggotanya sendiri.
“Eh, Nad, itu busnya sudah datang,” Cowok bernama Abe itu menunjuk bus yang mulai mendekat ke halte sebelum aku sempat berkomentar pada pernyataannya barusan. Tanpa menunggu lama lagi, setelah bus tepat berada di depan halte, aku pun segera berdesak-desakan dan berlomba untuk masuk ke dalam bus berpintu dua itu bersama penumpang lain. Beruntunglah aku masih mendapatkan tempat duduk untukku bersandar. Sejenak melepaskan penat dan lelah di bahu setelah menggendong tas pungung yang cukup berat. Hei! Aku melupakan seseorang. Dimana Abe? Aku menngok ke depan dan belakang, mencari sosok cowok yang masih misterius itu. Tapi nihil. Aku tak menumukannya di bus ini. Aku mencoba melihat sekolahku dari jendela bus yang berada di sampingku. Kulihat sorang cowok dengan payung abu-abunya berjalan masuk ke gerbang sekolah.
            Perlahan bus berjalan meninggalkan halte yang mulai sepi. Pikiranku ikut berjalan jauh berkelana kesana-kemari. Terbang bersama pertanyaan yang muncul dan bersarang di otakku. Kenapa dia mengantarku, padahal ia sendiri belum akan pulang? Tapi sudahlah. Aku tak perlu memikirkan hal itu. Masih banyak tugas dan pekerjaan yang sudah menantiku di rumah.
***
            Rupanya hjan masih setia dan tak mau pergi hingga malam tiba. Untuk kali ini, entah kenapa aku memilih untuk mengerjakan tugas sekolah di atas balkon kamar. Ditemani oleh kilauan lampu kota yang menghiasi kota Semarang malam. Serta iringan gemericik air hujan yang berjatuhan di atas atap balkon yang menjadi alunan musik yang sangat menyenangkan kala didengar. Kaus lengan panjang saja tak cukup untuk melindungiku dari udara dingin yang menyerang. Dengan begitu, aku pun melapisinya dengan cardigan rajut yang cukup menghangatkan.
            Ting!
            Sebuah ikon Blackberry Messenger dengan bintang merah di atas salah satu sudutnya mucul di layar ponselku. Aku meletakkan pensil yang sedari tadi kupegang dan segera beralih pada ponsel yang telah berhasil menyita perhatianku. Astaga! Sebuah BBM datang dari seorang kakak kelas yang selama ini sangat kuidolakan. Dia cowok drummer di ekskul grub band sekolahku. Dia yang selama ini memicu jantungku untuk berdetak lebih cepat, membuat aliran darahku semakin deras, sesak pada paru-paruku yang seolah menyempit, serta kelu pada lidahku. Dia cowok keren yang akhir-akhir ini mndekatiku. Kak Erik!
           
            Nad, sebentar lagi, kan, ulang tahun SMA kita. Kamu mau, nggak, tampil bareng ekskul grub band?
            Ini tawaran yang sangat menguntungkan. Selain bisa tenar karena dapat menyanyi di atas panggung, aku juga mempunyai kesempatan untuk semakin dekat dengan Kak Erik saat latihan nanti. Aku sedikit menimbang-nimbang. Kesempatan seperti ini tak akan datang untuk kedua kalinya. Setelah mejawab “ya”, kini hari-hariku pun penuh dengan jadwal latihan musik untuk tampil dalam waktu yang makin hari makin dekat.  
            Hingga hari itu akhirnya tiba. Aku berdiri dan menyanyi di atas panggung. Melihat sepasang mata yang menatapku lekat di akhir lagu yang sedang kubawakan. Mata sipit yang seperti pernah kukenal. Dia anak seni vokal yang mengantarku ke halte saat hujan turun beberapa waktu yang lalu. Abe! Dia diam mematung di tengah kerumunan orang yang sedang larut dalam musik yang sedang kupersembahkan. Tatapannya mengunci mataku dan seolah ingin berkata sesuatu. Tangan yang sedari tadi ia lipat di depan dadanya kini terangkat dan menunjuk ke suatu arah. Kurasa ia memintaku untuk menemuinya nanti.
            Setelah lagu selesai, aku pun hanya menurut pada perintahnya. Dan sekarang, di sinilah kami berdua. Di taman sekolah yang berada agak jauh dari panggung. Aku duduk di sebelahnya. Di bangku putih yang lebih sering diduduki oleh pasangan siswa-siswi untuk berduaan. Dan kami? Ah, bahkan kenal saja baru beberapa hari yang lalu. Aku bahkan tak peduli kenapa ia mengajakku kemari.
            “Nad,”dia menyebut namaku. Aku menoleh. Sebuah senyuman manis mengembang di bibir cowok yang memakai kaus polo ini. Aku hanya membalas dengan senyum yang sangat kupaksakan. Kurasa dia terlalu berlebihan, aku baru melihatnya dalam dua kali pertemuan dan dia sudah mengajakku untuk berduaan? Tidakkah ia salah dalam memilih waktu?
            “Aku mau kasih ini buat kamu. Datang ya.” Ia memberiku sebuah undangan pesta ulang tahun dan segera pergi meninggalkanku begitu saja. Di bagian depan kartu undangan tersebut tertulis sebuah nama: Adrian Bima Ervino. Mungkin itu nama asli Abe. Aku segera mengalihkan pandanganku. Menatap punggung sang pemberi undangan ini yang mulai menjauh dari pandanganku. Menghilang dari jangkauan mataku. Ia yang memintaku untuk pergi menemuinya di sini dan sekarang ia yang pergi meninggalkanku terlebih dahulu tanpa berpamitan. Menyebalkan.
            “Hai, Nad. Ngapain disini sendirian?” Sepasang kaki melangkah mendekatiu. Aku mengenali suara berat itu. Suara yang telah berhasil meluluhan seluruh perasaan kesalku pada Abe. Siapa lagi kalau bukan Kak Erik? Ia duduk di sampingku. Matanya menangkap sebuah kartu undangan di tanganku. Kemudian mengeluarkan kartu undangan yang sama persis dari saku celananya.
            “Kamu dapat ini juga?”, tanyanya. “Berangkat bareng,mau, nggak? Besok aku jemput jam enam sore, OK?” Lanjutnya seolah sudah thu jawaban yang akan kuberikan atas ajaknnya.

            Seperti yang telah dijanjikan, esok hari setelah surya pulang pada rumahnya, sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang cowok jangkung berpenampilan sangat keren membawaku datang pada pesta ulang tahun Abe. Sungguh, sebenarnya aku tak punya sedikitpun niat dan minat untuk datang ke acara ini. Namun ajakan dari cowok di sampingku ini terlalu sayang untuk ditolak. Jadilah sekarang aku datang bersama Kak Erik bagai sepasang kekasih. Kami berjalanan beriringan dan ia menggandeng tanganku.
            Merasa tak nyaman dengan tatapan ‘membunuh’ cewek-cewek di ruangan pesta yang memandangi kami berdua, aku pun meminta Kak Erik untuk pergi ke tempat lain dan meninggalkanku untuk saat ini. Saat aku tengah sendirian dan mencari seseorang untuk dijadikan sebagai teman ngobrol, si pemilik acara datang menghampiriku dengan buket mawar merah yang dibungkus dengan sangat cantik.
            “Aku sayang kamu, Nad,” ucapnya tiba-tiba seraya menyerahkan buket itu padaku. Aku mengulurkan tangan untuk menerimanya meski dengan perasaan yang tidak tulus. Aku tidak menyayangi, menyukai, atau bahkan mencintainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti hatinya dengan menolak buket pemberiannya itu. Aku menerima buket tersebut bukan karena aku mempunyai perasaan yang sama terhadapnya. Aku lebih tertarik dengan Kak Erik. Dia yang lebih tampan dan lebih keren. Lebih tenar dan lebih diperebutkan cewek-cewek di sekolahku. Mawar ini bukan berarti apa-apa. Aku hanya menanggapnya seagaimana pemberian pada umumnya. Yang harus diterima dan disertai ucapan terimakasih. Tak ingin berlama-lama dengan suasana canggung seperti ini, aku pun meminta ijin pada Abe untuk berkeliling sebentar. Ia hanya mengangguk dan membiarkanku pergi.

            Aku berjalan tak tahu harus kemana. Yang kuinginkan hanyalah tidak berduaan bersama Abe. Bahkan sangat sulit untuk ku percaya kalau ternyata Abe menyayangiku. Aku merasa risih dengan pernyataan sayang dari seorang cowok yang hanya baru beberapa hari kukenal.

            “Malam ini kamu cantk sekali, sayang,” kudengar suara yang keluar dari mulut seorang cowok yang sangat familiar ditelingaku. Cowok tenar yang selalu menyita perhatianku, Kak Erik. Dia tengah duduk berduaan bersama seorang perempuan asing yang tak kukenali. Seperti ada petir yang menyambar dadaku. Menghantam dan membakar jiwaku. Menimbulkan rasa yang teramat sakit pada seluruh jiwaku. Aku sungguh tak percaya Tuhan akan membiarkanku melihat kejadian mengejutkan seperti ini. Tak kusangka ternyata Kak Erik menyukai perempuan lain. Munkin aku terlalu percaya diri menganggap bahwa diriku adalah satu-satunya cewek yang mendapat perhatian darinya.
            Kelopak mataku kini terasa sesak dan tak muat lagi untuk terus kujadikan bendungan bagi air yang keluar dari mataku. Aku membalikkan badan dan kini tepat dihadapanku telah berdiri seorang cowok yang beberapa menit lalu memberikan buket mawar kepadaku. Entah ada angin dari mana tiba-tiba ia memelukku begitu erat. Pelukannya begitu hangat dan menenangkan. Tak sengaja air ataku keluar membasahi bahunya. Ia kemudian melepaskan dekapannya dariku. Memegang kedua pundakku dan menatap lekat pada kedua bola mataku.
            “Nada, aku mohon lupain dia. Belajarlah untuk mencintaiku,” ucapnya lembut namun penuh penekanan. Tangannya menghapus air mata di pipiku. Pelan dan lembut. Tapi dari arah belakang tiba-tiba Kak Erik datang dan menggandengku. Dia melihat buket di tanganku dan aku pun menjatuhkannya. Kemudian aku menurut saat Kak Erik mengajakku pergi dari tempat ini.
            Hujan tiba-tiba turun saat kami tengah dalam perjalanan pulang. Kurasa guyuran air dari langit ini mengacaukan pesta ulang tahun Abe. Astaga! Apa yang telah kulakukan padanya? Aku sendiri bahkan telah mengacaukan perasaannya dengan menjatuhkan, membuang, dan meningalkan buket mawar yang ia berikan lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Ya Tuhan. Bahkan aku lupa belum memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya. Aku tidak memberikan kado untuknya, tapi justru ia yang memberikan bunga mawar kepadaku. Mungkin Desember ini menjadi kado terburuk dihari ulang tahunnya. Sedangkan aku dengan bodohnya membiarkan diriku diajak pergi oleh seorang cowok yang jelas-jelas baru saja menyakiti hatiku.
***
            Sejak malam itu, aku tak lagi berbicara dengan Abe, meski hanya sekedar texting. Aku menghilang dari kehidupannya dan kegelapan datang di kehidupanku. Sedangkan Kak Erik selalu tertangkap basah olehku tengah menjalin hubungan bersama perempuan-perempuan yang selalu berbeda setiap minggunya. Dan kini kuputuskan untuk menghilang pula dari kehidupanya. Aku mulai sering terbayang-bayang dengan sosok Abe yang dengan ketulusannya mencintaiku. Buket mawar yang ia berikan dan kujatuh dan tinggalkan, senyum manis di bibirnya, tatapan lekatnya, pelukan hangat, serta usapan tangannya di pipiku terus-menerus menghantui pikiranku. Membuatku gelisah dan sulit untuk tidur nyenyak selama lima tahun terakhir.
            Hingga pada akhirnya sebuah pesan menegejutkanku. Pesan dari seorang pria yang teramat kurindukan. Pria yang dulu cintanya telah kusia-siakan. Dari seorang pria bernama lengkap Adrian Bima Ervino. Aku senang bukan main saat ia membuat waktu untuk bertemu denganku. Apakah ia masih mencintaiku? Jika memang benar, maka aku berjanji kali ini tak akan kusia-siakan cinta darinya untuk yang kedua kali.
            Dan disinilah, di sebuah cafe kecil di pusat kota Semarang Tuhan menakdirkan kami bertemu kembali setelah lima tahun lamanya tak saling jumpa. Senyum manis masih setia menghiasi bibirnya. Namun kini wajahnya terlihat begitu dingin. Sedingin cuaca yang datang di bulan Desember ini. Ia pun terlihat sebagai seorang pria mapan yang berpembawaan serius dan sangat berwibawa. Kacamata yang menghalangi mata sipitnya untuk menatapku secara langsung  membuatnya tampak cerdas. Kami berbicara tentang pekerjaan kami dan cuaca sekarang ini. Cuaca yang sama di bulan yang sama seperti saat dimana aku menyayat dan mengoyak hati serta perasaannya. Obrolan kecil ini begitu mengingatkanku pada musim hujan lima tahun yang lalu, saat ia terakhir kali melihatku dan saat itulah pikirannya terbakar melihat buket pemberiannya kubuang begitu saja.

            “Aku mau kasih ini buat kamu. Datang ya.” Lagi. Seperti lima tahun yang lalu. Abe menyerahkan sebuah undangan kepadaku. Ukurannya lebih besar dan lebih mewah dari yang dulu ia berikan padaku. Disana tertulis dengan huruf berukuran besar yang tercetak tebal sepasang nama; Andin dan Abe. Kulihat gambar sepasang cincin di bawahnya. Sesak di dada membatku sulit untuk bernafas. Tubuhku terasa kaku dan jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan pada undangan ini. Tak lagi ada seseorang yang akan mengajakku datang bersama di pesta pernikahan ini. Aku mengenang seluruh kisah pahit yang pernah kuukir di dalam hati seoarng pria yang sedang duduk di depanku yang mana sebentar lagi akan memulai hidup yang baru. Dengan cinta yang baru pula tentunya. Air menggenang di pelupuk mataku. Membiarkan pikiranku kembali mengingat bulan Desember lima tahun yang lalu.

0 komentar:

Posting Komentar