Rabu, 12 Maret 2014

16 Love



“Mel, gue suka nih sama cewek. Tapi dia cuek banget sama gue. Terus gue mesti gimana, ya? Padahal gue hari ini berencana nembak dia.” Mata Gerry tak lepas memandang sosok sahabat di depannya. Ia tengah beradu pandang dengan sosok gadis yang selalu menemaninya. Gadis cantik-baik hati yang mengacak-acak hatinya.  Sekilas ia tersenyum pada Imel. Imel yang tengah menahan kantuk seusai jam sekolah.

                 Seperti biasa, Imel dan Gerry duduk di meja kantin paling pojok nomor 16. Dua gelas es teh menemani keduanya. Suasana kantin kali ini tampak
sepi sepulang sekolah. Hanya ada beberapa siswa yang menikmati bakso atau sekedar membeli makanan ringan dan berbincang-bincang. Di meja yang sama seperti satu tahun yang lalu, dengan penjaga kantin yang sama, pesanan yang juga sama pada saat pulang sekolah, sepasang sahabat tampak santai menghabiskan siang di sekolah.
                 Imel masih mencerna pertanyaan Gerry. Kalimat yang dilontarkan cowok dengan paras yang menawan itu membuat ia berpikir lebih panjang, menebak-nebak. Ingin Imel bertanya pada sahabat yang nampaknya sedang jatuh cinta itu. Lo lagi kasmaran ya, Ger? Sama siapa? Atau mungkin jika Gerry masih menutupinya, ia akan terus mendesak. Sama siapa Gerry? Kasih tahu gue please... Lo kan cowok paling baik hati dan tidak sombong. Kalo Gerry masih nggak mau ngasih tau, Thomas ngambek nih.
                Hingga pada akhirnya, kalimat nyata keluar dari mulut Imel.
             “Mmm, coba aja lo deketin dia dulu. Dari situ kan lo bisa lihat, gimana respon dia ke elo”
                Gerry diam. Ia mengaduk es yang mulai mencair dalam gelas di depannya.
                “Kalau respon dia baik, lo lanjutin deh. Tapi...”
              “Kalau respon dia nggak jelas? Kalau misal gue nggak bisa baca respon dia?” Gerry menyela. Dan hal itu membuat Imel bingung. Ini kali pertama bagi Imel mendengar curhatan Gerry tentang seorang wanita. Ini juga kali pertama Gerry menyerang Imel dengan pertanyaan-pertanyaan bodohnya.
                 Kali ini Imel yang diam. Ia masih bingung. Hingga pada akhirnya Gerry berkata “Sorry, Mel”
           “Iya, nggak papa. Kan lo belum deketin dia. Jadi lo nggak boleh narik sembarang kesimpulan, dong” Imel dengan kalimat yang tak cocok dengan anak kelas XI SMA seusianya membuat Gerry sedikit lebih tenang.
                 “Oke deh, Mel. Thanks sarannya”
                 20 menit berlalu. Perbincangan di kantin sekolah itu berakhir. Imel masih dengan rasa penasarannya , dan Gerry dengan masalah di hatinya. Keduanya pergi ke kelas masing-masing.

***

                 Hari ini Gerry tidak masuk sekolah. Imel kesepian. Saat istirahat pun ia tak duduk di kantin meja nomor 16, hanya snack kecil yang ia beli dan dimakan di dalam kelas. Padahal ada sesuatu yang ingin Imel katakan pada Gerry. Curahan hati yang sejak tadi malam ingin ia bagikan kepada Gerry. Tentang lelaki. Tentang ketua OSIS yang semalam menyatakan cinta padanya. Tentang kebimbangan hatinya dalam menentukan jawaban untuk Adit, si ketua OSIS.
                 Ya, sebenarnya banyak sekali hal-hal yang inging Imel sampaikan pada Gerry. Curhat panjang lebar, Imel ingin sekali. Tapi...
                 “Mel!” Sebuah suara yang tak asing mengagetkan Imel. Adit menepuk pundak gadis yang menarik perhatiannya itu. “Hai, Mel” Sambung cowok keren yang dikenal seluruh penjuru sekolah itu.
                 “Adit. Hmm...” Imel salah tingkah. Ia bingung dengan apa yang akan ia lakukan di depan Adit. Adit pasti akan menagih jawaban semalam. Dan Gerry, Imel yang harusnya meminta pertimbangan dari Gerry terpaksa menentukan pilihannya sendiri.
                 “Ngomong-ngomong soal tadi malem, gimana nih, Mel?” Adit bertanya malu.
                 “Mmm,” Imel mengangguk pelan-malu. Senyumnya tak dapat ditahan. Ia menunduk. Seketika rona wajahnya memerah.

                 Hari-hari pun berlalu. Imel dekat dengan Adit. Namun entah kenapa, sikap Gerry berubah. Sejak berita jadian Imel dan Adit, Gerry seperti menghindar. Meja kantin nomor 16 sudah lama kosong. Pulang bareng dan belajar bareng pun sudah tak pernah. Gerry benar-benar menjauh.
                 Dari sinilah, Imel merasa teramat kesepian. Ia kehilangan sosok yang ia sayangi. Yang menghiburnya saat ia sedih. Yang lebih banyak memberikan perhatian padanya ketimbang Adit. Imel sedih. Beberapa hari terakhir Gerry jarang membalas SMS yang dikirim Imel. Sebelumnya pun hanya singkat-singkat saja. Bahkan saat pulang sekolah, ketika diajak nongkrong bareng di kantin seperti biasa, Gerry menolak dengan alasan yang tidak logis. Imel curiga. Ia merasa ada suatu hal tidak beres yang terjadi pada sahabatnya itu.
                 Pulang sekolah, Imel membuntuti Gerry yang berjalan ke arah kantin. Gerry duduk di meja nomor 16. Dan Imel, ia mengintip di tembok sisi kanan dari meja tersebut yang tingginya tak lebih dari kepala Imel. Sehingga gadis itu harus menunduk sesekali.
                 “Gue kangen sama lo. Gue kangen kebersamaan kita. Kangen senyum lo. Tawa lo. Nasehat lo. Tapi sekarang lo udah bukan sepenuhnya milik gue. Lo udah punya yang lebih baik. Dan mungkin lo udah ninggalin gue. Gue sadar, kok. Gue sadar! Tapi kenapa lo nggak pernah sadar, kalau gue suka sama lo? Gue cinta sama lo!” Gerry menggebrak meja. Membuat Imel yang sedari tadi tengah menguping tersentak kaget. Refleks Imel berdiri dan menengok apa yang terjadi dengan Gerry. Saat itu pula Gerry melihat Imel. Gerry salah tigkah. Malu dan marah. Ia memilih untuk pergi. Meninggalkan Imel yang tengah bingung dibuatnya.
                 “Gerry,” Imel menatap punggung Gerry yang perlahan menghilang dari pandangannya.

***

                 Sejak kejadian itu, Imel tersadar. Ia merasa bersala pada Gerry. Ia yakin bahwa kata-kata Gerry beberapa hari yang lalu saat pulang sekolah di kantin itu adalah utuknya. Tanpa pikir panjang, Imel memutuskan hubungannya dengan Adit. Kini ia mulai memahami isi hatinya. Ia menyayangi Gerry. Ia ingin Gerry kembali. Ia tidak senang melihat Gerry sekarang yang kebanyakan murung dan suka menyendiri.
                 Maka sejak itu pula, Imel lebih sering menaruh perhatiannya pada Gerry. Memperhatikan setiap gerak dan gerik Gerry. Mengumpulkan informasi tentang Gerry. Namun usahanya belum berhasil. Gerry masih tak berubah dari sikapnya yang menghindar. Gerry masih terlihat cuek. Tak menatap jika diajak berbicara. Tak menyapa jika sedang berpapasan.
                 Imel yang merasa dicueki pun kesal. Ia memutuskan untuk berhenti dari permainan yang menjebak ini, sebelum pada akhirnya seorang teman memberikan sebuah cokelat Silver Queen yang katanya titipan dari Gerry. Kala itu Imel senang bukan main. Ia senyum-senyum sendiri. Seperti ada setetes air ketika badai di gurun pasir. Ada harapan. Imel menimang-nimang coklat yang berharga di matanya itu. Mengecupnya. Lalu memasukkannya dalam tas punggung berwarna biru.
                 Sore ini Imel berencana bermain ke rumah Gerry. Tak peduli apa yang akan Gerry lakukan pada dirinya. Imel tak sempat berpikir sejauh itu. Hanya berbekal rasa rindu yang selama ini ia tahan. Ia rindu sosok Gerry yang ceria. Yang suka iseng dan menjahilinya. Yang sering menantangnya untuk balapan berlari sepulang sekolah.
                
                 “Hai, Gerr!” Imel tersenyum manis saat sosok cowok yang kini menjadi pujaan hatinya berada di ambang pintu rumah Gerry. Gerry tampak terkejut.
                 “Thomas. Eh, Imel” Cowok jangkung tinggi itu tampak grogi. Thomas, julukan yang dulu ia berikan pada Imel sebagai nama persahabatan. Thomas dan Gerry. Seperti Tom and Jerry. Imel tersenyum mendengar julukan kesayangan dari Gerry itu.
                 “Ada keperluan apa ya, Mel?” Gerry mencoba mengalihkan perhatian. Gaya bicaranya kali ini tampak baku dan serius. Tak seperti biasanya yang santai-jenaka dan suka nyeleweng. Imel merasa bahwa dia adalah tamu resmi, seperti sorang tamu asing yang sebelumnya tak pernah kenal. Senyum Imel memudar. Wajahnya mulai kusut.
                 “Ada apaan sih, Mel! Kalo bertamu cuma buat diem kayak gini mending gue tinggal aja.” Gerry berkata kasar. Nada bicaranya meninggi. Imel hanya menunduk. Menahan sekuat mungkin agar air matanya tak jatuh. Ia tak berani menatap wajah Gerry. Ia tak ingin melihat mata Gerry yang mungkin sedang memerah. Mulutnya pun seperti terkunci. Imel membalikkan badan disertai dengan air di matanya yang mulai jatuh. Ia berlari keluar halaman rumah Gerry.
                 Sepasang mata Gerry memandang Imel tak tega. Ada percikan rasa bersalah di hatinya.

***

                 Pagi di hari Sabtu, Imel berangkat lebih awal. Jadwal piketnya jatuh pada hari ini. Kelas masih sangat sepi. Belum ada seorangpun yang ada di dalamnya. Namun entah dari siapa, Imel mendapati setangkai mawar merah yang masih segar berada di mejanya. Imel memungutnya, mengamatinya, lalu mencium harum segarnya.
                 “Gerry” Imel menebak-nebak. Ia pergi keluar kelas. Tak ingat pada tugas piketnya. Imel mencari Gerry di kelasnya, barangkali Gerry berangkat pagi-pagi sekali  untuk memberikan mawar itu. Namun, ah. Tak ada orangnya. Hanya sebuah tas ransel hitam yang disandarkan di bangku palin pojok. Ya, itu bangku Gerry. Tempat duduk Gerry. Jadi apakah benar Gerry yang menaruhnya? Tapi dimana dia? Imel berkata pada dirinya sendiri.
                 “Kantin meja nomor 16” Imel melangkahkan kakinya dengan membawa mawar itu. Ia menjumpai Gerry yang sedang duduk sendiri di meja istimewa itu. Dengan perasaan yang gelisah, kaki-tangan yang gemetar, serta debaran jantung yang tak menentu, Imel berdiri di depan Gerry. Agak takut ia memandang sosok di depannya. Gerry menatap Imel. Matanya bergantian memandangi Imel dan mawarnya.
                 “Ngapain, Mel bawa mawar segala? Buat gue? Sorry gue nggak doyan bunga!” Gerry masih dengan cuek dan amarahnya. Lalu seperti biasa, ia bangkit dan berjalan cepat meninggalkan Imel.

                 Hari-hari Imel kian sepi. Kini ia sering menyendiri. Akhir-akhir ini Gerry selalu memarahinya jika diajak berbicara.
                 “Mel, ini ada titipan dari Gerry, tadi pagi nyokapnya datang ke rumah gue. Hari ini dia nggak masuk” Teman sebangku Gerry menyerahkan sebuah bigkisan yang berbentuk kotak ketika jam istirahat. Kardus kotak itu dilapisi dengan kertas kado warna biru dengan corak tanda cinta berwarna coklat. Imel membukanya. Sebuah lilin berbentuk angka 1 dan 6 berada di dalamnya, juga selembar kertas putih bertuliskan “I LOVE YOU, IMELDA”. Lilin? Imel baru ingat bahwa besok tanggal 16 adalah hari ulang tahunnya yang ke-16, sama dengan Gerry.
                 Gerry mencintaiku? Benarkah itu? Pikir Imel senang. 
                 Sorenya ia pergi ke rumah Gerry. Namun suasana rumah itu tampak berbeda. Banyak mobil dan ramai dengan orang berpakaian hitam-hitam. Imel kaget. Ia khawatir. Siapa yang meninggal? Imel mempercepat langkanya masuk ke rumah Gerry. Tampak mayat tergeletak di sebelah Mia, ibu Gerry. Wanita paruh baya itu menangis sesenggukan. Imel mendekatinya.
                 “Gerry...” Tante Mia berteriak diiringi tangisnya yang emakin menjadi-jadi. Di sampingnya tampak Gabby, adik Gerry yang memegangi Ibunya. Wajah Imel memucat. Lidahnya kelu. Matanya menatap tak percaya mayat di sampinya. Air sudah di pelupuk, tak butuh waktu lama pipinya akan basah.
                 “Gabby?” Imel menengok adik Gerry. Matanya yang berair menuntut Gabby agar memberi penjelasan kepadanya.
                 “Kak Gerry meninggal” Gabby menjawab singkat.
                 Seketika wajah Imel semakin pucat. Tubuhnya nyaris jatuh jika Imel tak segera mengatur keseimbangannya.
                 “Imel, Gerry Mel, Gerry.” Tante Mia memeluk Imel. Imel hnya pasrah. Air matanya ia biarkan jatuh di pundak Tante Mia.
                 “Gerry mengidap kanker otak, Mel. Akhir-akir ini penyakitnya kambuh. Tapi ia melarang Tante untuk cerita sama kamu. Gerry nggak pengen kamu sedih. Gerry ggak pengen kamu kasihan sama dia. Makanya, akhir-akhir ini juga Gerry sering ngejauhin kamu, Gerry nggak pengen kamu merasa kehilangan jika dia memang benar-benar pergi”

***

                 Hari ini sekolah pulang lebih awal. Para guru dan siswa teman sekelas Gerry melakukan takziah. Namun Imel lebih memilih untuk berdiam di kantin. Duduk di meja nomor 16. Bersama kue tart ulang tahunnya yang bertulisakan “Gerry-Imel” dengan gambar kartun animasi Tom and Jerry. Imel kemudian mengambil lilin pemberian terakhir dari Gerry. Membuka dan menancapkannya pada kue tart tersebut. Lalu menyalakannya.
                
                 Happy Birthday Gerry
                 Happy Birthday Imel
                 Happy Birthday Gerry
                 Happy Birthday Imel
                
                 Imel bernyanyi untuk Gerry dan dirinya sendiri, kemudian meniup kedua lilin tersebut. Ia lalu  tersenyum bahagia meski air mata membasahi pipinya. Lelah, tanpa sadar ia tertidur di kantin.

***

                 “Oaahhmmm...” Imel bangun dengan mulet dari tidurnya. Ia mengucek-ucekmatanya yang masih menyipit. Imel melihat sosok Gerry tersenyum padanya. Ime terkejut. Ia kembali mengucek-ucek matanya. Menyipitkan mata dan memajukan wajahnya mengamati sosok cowok di depannya.
                 “Gerry?” Imel memastikan bahwa cowok tersebut memang benar-benar Gerry. Ya, itu benar Gerry.
                 “Imel, udah 1 jam lebih gue nungguin lo. Diajak konsultasi cewek malah molor. Tidur lo pules banget ya?” Ujar Gerry sambil tersenyum ramah.
                 “Syukurlah. Cuman mimpi” Imel menarik nafas panjang.
                 “Lo mimpiin apa sih Mel? Gue ya? Hahaha. Nih, Mel. Gue kasih mawar sama cokelat. Gerry menyerahkan cokelat Silver Queen dan setangkai mawar merah kepada Imel. Imel terkejut.
                 “Oya, Mel. Besok kan hari ulang tahun kita. Jangan lupa nanti malem pesen kue tart Tom and Jerry ya. Dan ini, buat kita. Buka aja ya” Gerry menyerahkan sesuatu lagi. Bungkusan berbentuk kotak. Kotak tersebut terbungkus oleh kertas kado berwarna biru dan bercorak tanda cinta coklat. Penasaran, Imel segera membukanya. Dua buah lilin berbentuk angka nomor 1 dan 6, juga selembar kertas putih bertuliskan “I LOVE YOU, IMELDA”.
                 Imel pucat. Lidahnya kelu. Seluruh urat dan sarafnya seakan putus. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Apakah aku masih bermimpi?

***

                

0 komentar:

Posting Komentar