“Mel, gue suka nih sama
cewek. Tapi dia cuek banget sama gue. Terus gue mesti gimana, ya? Padahal gue
hari ini berencana nembak dia.” Mata Gerry tak lepas memandang sosok sahabat di
depannya. Ia tengah beradu pandang dengan sosok gadis yang selalu menemaninya. Gadis
cantik-baik hati yang mengacak-acak hatinya. Sekilas ia tersenyum pada Imel. Imel yang
tengah menahan kantuk seusai jam sekolah.
Seperti biasa, Imel dan Gerry duduk di meja kantin paling
pojok nomor 16. Dua gelas es teh menemani keduanya. Suasana kantin kali ini
tampak
sepi sepulang sekolah. Hanya ada beberapa siswa yang menikmati bakso atau sekedar membeli makanan ringan dan berbincang-bincang. Di meja yang sama seperti satu tahun yang lalu, dengan penjaga kantin yang sama, pesanan yang juga sama pada saat pulang sekolah, sepasang sahabat tampak santai menghabiskan siang di sekolah.
Imel
masih mencerna pertanyaan Gerry. Kalimat yang dilontarkan cowok dengan paras
yang menawan itu membuat ia berpikir lebih panjang, menebak-nebak. Ingin Imel
bertanya pada sahabat yang nampaknya sedang jatuh cinta itu. Lo lagi kasmaran ya, Ger? Sama siapa? Atau
mungkin jika Gerry masih menutupinya, ia akan terus mendesak. Sama siapa Gerry? Kasih tahu gue please...
Lo kan cowok paling baik hati dan tidak sombong. Kalo Gerry masih nggak mau
ngasih tau, Thomas ngambek nih.
sepi sepulang sekolah. Hanya ada beberapa siswa yang menikmati bakso atau sekedar membeli makanan ringan dan berbincang-bincang. Di meja yang sama seperti satu tahun yang lalu, dengan penjaga kantin yang sama, pesanan yang juga sama pada saat pulang sekolah, sepasang sahabat tampak santai menghabiskan siang di sekolah.
Hingga pada akhirnya,
kalimat nyata keluar dari mulut Imel.
“Mmm,
coba aja lo deketin dia dulu. Dari situ kan lo bisa lihat, gimana respon dia ke
elo”
Gerry
diam. Ia mengaduk es yang mulai mencair dalam gelas di depannya.
“Kalau
respon dia baik, lo lanjutin deh. Tapi...”
“Kalau
respon dia nggak jelas? Kalau misal gue nggak bisa baca respon dia?” Gerry
menyela. Dan hal itu membuat Imel bingung. Ini kali pertama bagi Imel mendengar
curhatan Gerry tentang seorang wanita. Ini juga kali pertama Gerry menyerang
Imel dengan pertanyaan-pertanyaan bodohnya.
Kali
ini Imel yang diam. Ia masih bingung. Hingga pada akhirnya Gerry berkata
“Sorry, Mel”
“Iya,
nggak papa. Kan lo belum deketin dia. Jadi lo nggak boleh narik sembarang
kesimpulan, dong” Imel dengan kalimat yang tak cocok dengan anak kelas XI SMA
seusianya membuat Gerry sedikit lebih tenang.
“Oke
deh, Mel. Thanks sarannya”
20
menit berlalu. Perbincangan di kantin sekolah itu berakhir. Imel masih dengan
rasa penasarannya , dan Gerry dengan masalah di hatinya. Keduanya pergi ke
kelas masing-masing.
***
Hari
ini Gerry tidak masuk sekolah. Imel kesepian. Saat istirahat pun ia tak duduk
di kantin meja nomor 16, hanya snack kecil yang ia beli dan dimakan di dalam
kelas. Padahal ada sesuatu yang ingin Imel katakan pada Gerry. Curahan hati
yang sejak tadi malam ingin ia bagikan kepada Gerry. Tentang lelaki. Tentang
ketua OSIS yang semalam menyatakan cinta padanya. Tentang kebimbangan hatinya
dalam menentukan jawaban untuk Adit, si ketua OSIS.
Ya,
sebenarnya banyak sekali hal-hal yang inging Imel sampaikan pada Gerry. Curhat
panjang lebar, Imel ingin sekali. Tapi...
“Mel!”
Sebuah suara yang tak asing mengagetkan Imel. Adit menepuk pundak gadis yang
menarik perhatiannya itu. “Hai, Mel” Sambung cowok keren yang dikenal seluruh
penjuru sekolah itu.
“Adit.
Hmm...” Imel salah tingkah. Ia bingung dengan apa yang akan ia lakukan di depan
Adit. Adit pasti akan menagih jawaban semalam. Dan Gerry, Imel yang harusnya
meminta pertimbangan dari Gerry terpaksa menentukan pilihannya sendiri.
“Ngomong-ngomong
soal tadi malem, gimana nih, Mel?” Adit bertanya malu.
“Mmm,”
Imel mengangguk pelan-malu. Senyumnya tak dapat ditahan. Ia menunduk. Seketika
rona wajahnya memerah.
Hari-hari
pun berlalu. Imel dekat dengan Adit. Namun entah kenapa, sikap Gerry berubah.
Sejak berita jadian Imel dan Adit, Gerry seperti menghindar. Meja kantin nomor
16 sudah lama kosong. Pulang bareng dan belajar bareng pun sudah tak pernah.
Gerry benar-benar menjauh.
Dari
sinilah, Imel merasa teramat kesepian. Ia kehilangan sosok yang ia sayangi.
Yang menghiburnya saat ia sedih. Yang lebih banyak memberikan perhatian padanya
ketimbang Adit. Imel sedih. Beberapa hari terakhir Gerry jarang membalas SMS
yang dikirim Imel. Sebelumnya pun hanya singkat-singkat saja. Bahkan saat
pulang sekolah, ketika diajak nongkrong bareng di kantin seperti biasa, Gerry
menolak dengan alasan yang tidak logis. Imel curiga. Ia merasa ada suatu hal
tidak beres yang terjadi pada sahabatnya itu.
Pulang
sekolah, Imel membuntuti Gerry yang berjalan ke arah kantin. Gerry duduk di
meja nomor 16. Dan Imel, ia mengintip di tembok sisi kanan dari meja tersebut
yang tingginya tak lebih dari kepala Imel. Sehingga gadis itu harus menunduk
sesekali.
“Gue
kangen sama lo. Gue kangen kebersamaan kita. Kangen senyum lo. Tawa lo. Nasehat
lo. Tapi sekarang lo udah bukan sepenuhnya milik gue. Lo udah punya yang lebih
baik. Dan mungkin lo udah ninggalin gue. Gue sadar, kok. Gue sadar! Tapi kenapa
lo nggak pernah sadar, kalau gue suka sama lo? Gue cinta sama lo!” Gerry
menggebrak meja. Membuat Imel yang sedari tadi tengah menguping tersentak
kaget. Refleks Imel berdiri dan menengok apa yang terjadi dengan Gerry. Saat
itu pula Gerry melihat Imel. Gerry salah tigkah. Malu dan marah. Ia memilih
untuk pergi. Meninggalkan Imel yang tengah bingung dibuatnya.
“Gerry,”
Imel menatap punggung Gerry yang perlahan menghilang dari pandangannya.
***
Sejak
kejadian itu, Imel tersadar. Ia merasa bersala pada Gerry. Ia yakin bahwa
kata-kata Gerry beberapa hari yang lalu saat pulang sekolah di kantin itu
adalah utuknya. Tanpa pikir panjang, Imel memutuskan hubungannya dengan Adit.
Kini ia mulai memahami isi hatinya. Ia menyayangi Gerry. Ia ingin Gerry
kembali. Ia tidak senang melihat Gerry sekarang yang kebanyakan murung dan suka
menyendiri.
Maka
sejak itu pula, Imel lebih sering menaruh perhatiannya pada Gerry.
Memperhatikan setiap gerak dan gerik Gerry. Mengumpulkan informasi tentang
Gerry. Namun usahanya belum berhasil. Gerry masih tak berubah dari sikapnya
yang menghindar. Gerry masih terlihat
cuek. Tak menatap jika diajak berbicara. Tak menyapa jika sedang berpapasan.
Imel
yang merasa dicueki pun kesal. Ia memutuskan untuk berhenti dari permainan yang
menjebak ini, sebelum pada akhirnya seorang teman memberikan sebuah cokelat Silver Queen yang katanya titipan dari
Gerry. Kala itu Imel senang bukan main. Ia senyum-senyum sendiri. Seperti ada
setetes air ketika badai di gurun pasir. Ada harapan. Imel menimang-nimang
coklat yang berharga di matanya itu. Mengecupnya. Lalu memasukkannya dalam tas
punggung berwarna biru.
Sore
ini Imel berencana bermain ke rumah Gerry. Tak peduli apa yang akan Gerry lakukan
pada dirinya. Imel tak sempat berpikir sejauh itu. Hanya berbekal rasa rindu
yang selama ini ia tahan. Ia rindu sosok Gerry yang ceria. Yang suka iseng dan
menjahilinya. Yang sering menantangnya untuk balapan berlari sepulang sekolah.
“Hai,
Gerr!” Imel tersenyum manis saat sosok cowok yang kini menjadi pujaan hatinya
berada di ambang pintu rumah Gerry. Gerry tampak terkejut.
“Thomas.
Eh, Imel” Cowok jangkung tinggi itu tampak grogi. Thomas, julukan yang dulu ia
berikan pada Imel sebagai nama persahabatan. Thomas dan Gerry. Seperti Tom and
Jerry. Imel tersenyum mendengar julukan kesayangan dari Gerry itu.
“Ada
keperluan apa ya, Mel?” Gerry mencoba mengalihkan perhatian. Gaya bicaranya kali
ini tampak baku dan serius. Tak seperti biasanya yang santai-jenaka dan suka
nyeleweng. Imel merasa bahwa dia adalah tamu resmi, seperti sorang tamu asing
yang sebelumnya tak pernah kenal. Senyum Imel memudar. Wajahnya mulai kusut.
“Ada
apaan sih, Mel! Kalo bertamu cuma buat diem kayak gini mending gue tinggal aja.”
Gerry berkata kasar. Nada bicaranya meninggi. Imel hanya menunduk. Menahan
sekuat mungkin agar air matanya tak jatuh. Ia tak berani menatap wajah Gerry.
Ia tak ingin melihat mata Gerry yang mungkin sedang memerah. Mulutnya pun
seperti terkunci. Imel membalikkan badan disertai dengan air di matanya yang
mulai jatuh. Ia berlari keluar halaman rumah Gerry.
Sepasang
mata Gerry memandang Imel tak tega. Ada percikan rasa bersalah di hatinya.
***
Pagi
di hari Sabtu, Imel berangkat lebih awal. Jadwal piketnya jatuh pada hari ini.
Kelas masih sangat sepi. Belum ada seorangpun yang ada di dalamnya. Namun entah
dari siapa, Imel mendapati setangkai mawar merah yang masih segar berada di
mejanya. Imel memungutnya, mengamatinya, lalu mencium harum segarnya.
“Gerry”
Imel menebak-nebak. Ia pergi keluar kelas. Tak ingat pada tugas piketnya. Imel
mencari Gerry di kelasnya, barangkali Gerry berangkat pagi-pagi sekali untuk memberikan mawar itu. Namun, ah. Tak
ada orangnya. Hanya sebuah tas ransel hitam yang disandarkan di bangku palin
pojok. Ya, itu bangku Gerry. Tempat duduk Gerry. Jadi apakah benar Gerry yang menaruhnya? Tapi dimana dia? Imel
berkata pada dirinya sendiri.
“Kantin
meja nomor 16” Imel melangkahkan kakinya dengan membawa mawar itu. Ia menjumpai
Gerry yang sedang duduk sendiri di meja istimewa itu. Dengan perasaan yang
gelisah, kaki-tangan yang gemetar, serta debaran jantung yang tak menentu, Imel
berdiri di depan Gerry. Agak takut ia memandang sosok di depannya. Gerry menatap
Imel. Matanya bergantian memandangi Imel dan mawarnya.
“Ngapain,
Mel bawa mawar segala? Buat gue? Sorry gue nggak doyan bunga!” Gerry masih
dengan cuek dan amarahnya. Lalu seperti biasa, ia bangkit dan berjalan cepat
meninggalkan Imel.
Hari-hari
Imel kian sepi. Kini ia sering menyendiri. Akhir-akhir ini Gerry selalu
memarahinya jika diajak berbicara.
“Mel,
ini ada titipan dari Gerry, tadi pagi nyokapnya datang ke rumah gue. Hari ini
dia nggak masuk” Teman sebangku Gerry menyerahkan sebuah bigkisan yang
berbentuk kotak ketika jam istirahat. Kardus kotak itu dilapisi dengan kertas
kado warna biru dengan corak tanda cinta berwarna coklat. Imel membukanya.
Sebuah lilin berbentuk angka 1 dan 6 berada di dalamnya, juga selembar kertas
putih bertuliskan “I LOVE YOU, IMELDA”. Lilin?
Imel baru ingat bahwa besok tanggal 16 adalah hari ulang tahunnya yang ke-16,
sama dengan Gerry.
Gerry mencintaiku? Benarkah itu? Pikir
Imel senang.
Sorenya
ia pergi ke rumah Gerry. Namun suasana rumah itu tampak berbeda. Banyak mobil
dan ramai dengan orang berpakaian hitam-hitam. Imel kaget. Ia khawatir. Siapa yang meninggal? Imel mempercepat
langkanya masuk ke rumah Gerry. Tampak mayat tergeletak di sebelah Mia, ibu
Gerry. Wanita paruh baya itu menangis sesenggukan. Imel mendekatinya.
“Gerry...”
Tante Mia berteriak diiringi tangisnya yang emakin menjadi-jadi. Di sampingnya
tampak Gabby, adik Gerry yang memegangi Ibunya. Wajah Imel memucat. Lidahnya
kelu. Matanya menatap tak percaya mayat di sampinya. Air sudah di pelupuk, tak
butuh waktu lama pipinya akan basah.
“Gabby?”
Imel menengok adik Gerry. Matanya yang berair menuntut Gabby agar memberi
penjelasan kepadanya.
“Kak
Gerry meninggal” Gabby menjawab singkat.
Seketika
wajah Imel semakin pucat. Tubuhnya nyaris jatuh jika Imel tak segera mengatur
keseimbangannya.
“Imel,
Gerry Mel, Gerry.” Tante Mia memeluk Imel. Imel hnya pasrah. Air matanya ia
biarkan jatuh di pundak Tante Mia.
“Gerry
mengidap kanker otak, Mel. Akhir-akir ini penyakitnya kambuh. Tapi ia melarang
Tante untuk cerita sama kamu. Gerry nggak pengen kamu sedih. Gerry ggak pengen
kamu kasihan sama dia. Makanya, akhir-akhir ini juga Gerry sering ngejauhin
kamu, Gerry nggak pengen kamu merasa kehilangan jika dia memang benar-benar
pergi”
***
Hari
ini sekolah pulang lebih awal. Para guru dan siswa teman sekelas Gerry
melakukan takziah. Namun Imel lebih memilih untuk berdiam di kantin. Duduk di
meja nomor 16. Bersama kue tart ulang tahunnya yang bertulisakan “Gerry-Imel”
dengan gambar kartun animasi Tom and
Jerry. Imel kemudian mengambil lilin pemberian terakhir dari Gerry. Membuka
dan menancapkannya pada kue tart tersebut. Lalu menyalakannya.
Happy Birthday Gerry
Happy Birthday Imel
Happy Birthday Gerry
Happy Birthday Imel
Imel
bernyanyi untuk Gerry dan dirinya sendiri, kemudian meniup kedua lilin
tersebut. Ia lalu tersenyum bahagia meski
air mata membasahi pipinya. Lelah, tanpa sadar ia tertidur di kantin.
***
“Oaahhmmm...”
Imel bangun dengan mulet dari tidurnya. Ia mengucek-ucekmatanya yang masih
menyipit. Imel melihat sosok Gerry tersenyum padanya. Ime terkejut. Ia kembali
mengucek-ucek matanya. Menyipitkan mata dan memajukan wajahnya mengamati sosok
cowok di depannya.
“Gerry?”
Imel memastikan bahwa cowok tersebut memang benar-benar Gerry. Ya, itu benar
Gerry.
“Imel,
udah 1 jam lebih gue nungguin lo. Diajak konsultasi cewek malah molor. Tidur lo
pules banget ya?” Ujar Gerry sambil tersenyum ramah.
“Syukurlah.
Cuman mimpi” Imel menarik nafas panjang.
“Lo
mimpiin apa sih Mel? Gue ya? Hahaha. Nih, Mel. Gue kasih mawar sama cokelat.
Gerry menyerahkan cokelat Silver Queen dan setangkai mawar merah kepada Imel.
Imel terkejut.
“Oya,
Mel. Besok kan hari ulang tahun kita. Jangan lupa nanti malem pesen kue tart
Tom and Jerry ya. Dan ini, buat kita. Buka aja ya” Gerry menyerahkan sesuatu
lagi. Bungkusan berbentuk kotak. Kotak tersebut terbungkus oleh kertas kado
berwarna biru dan bercorak tanda cinta coklat. Penasaran, Imel segera
membukanya. Dua buah lilin berbentuk angka nomor 1 dan 6, juga selembar kertas
putih bertuliskan “I LOVE YOU, IMELDA”.
Imel
pucat. Lidahnya kelu. Seluruh urat dan sarafnya seakan putus. Jantungnya
seperti berhenti berdetak. Apakah aku
masih bermimpi?
***
0 komentar:
Posting Komentar