“Tapi, Ma, Mas Rio saja boleh, kenapa aku enggak?”
Aku
merengek bagai anak kecil yang minta dibelikan mainan. Merajuk, menarik-narik
tangan mama dan memaksanya untuk memberi ijin atas kegiatan apa yang ingin aku
kerjakan. Sudah dua hari tak henti-hentinya aku memohon, namun mama masih tetap
pada pendiriannya. Ia ngotot tidak memberikan ijin padaku.
“Sudahlah,
Ma. Biarkan Eka meneruskan hobi Papa”. Papa datang dari teras depan dengan
sebuah koran yang terlipat di tangannya, kemudian duduk di sebelah mama.
“Tapi
Pa,
Eka kan cewek, masih SMA, masih pemula, dan itu bahaya”. Selalu itu yang mama katakan. Aku cewek, masih SMA, masih pemula, dan ini berbahaya. Oh, ayolah Ma, justru dengan begini aku dapat belajar lebih mengenai gunung dan alam. Dengan kegiatan seperti itu aku akan merasa semakin dekat dengan Tuhan dan seluruh mahakaryaNya yang luar biasa hebatnya. Aku pun juga
Eka kan cewek, masih SMA, masih pemula, dan itu bahaya”. Selalu itu yang mama katakan. Aku cewek, masih SMA, masih pemula, dan ini berbahaya. Oh, ayolah Ma, justru dengan begini aku dapat belajar lebih mengenai gunung dan alam. Dengan kegiatan seperti itu aku akan merasa semakin dekat dengan Tuhan dan seluruh mahakaryaNya yang luar biasa hebatnya. Aku pun juga
ingin seperti Mas Rio, yang
sering diijinkan menikmati
keindahan alam hijau nun jauh di
sana. Mendaki gunung-gunung, dan menapakkan kakinya di puncak sana. Aku iri,
Ma!
Apalagi
ini dalam rangka memperingati hari lahir negara tercinta, Republik Indonesia.
Yang mana tak pernah terbayang dalam benakku saat mengikuti upacara, hormat
kepada Sang Saka Merah Putih di atas puncak Gunung bersama pndaki-pendaki lain
yang datang bersama.
Toh,
dalam perjalanan ini aku bersama Mas Rio dan kawan-kawan pendai lainnya. Belum
lagi Abe, cowok satu sekolah yang berhasil menarik perhatianku juga akan ikut
kakaknya yang mana adalah teman kakakku, Mas Rio dalam pendakian tersebut. Hal
ini tentu saja membuatku semakin bersemangat untuk mengikuti perjalanan itu.
“Baik,
Mama ijinkan, tapi kalau kamu sakit sedikit saja, mau tidak mau kamu harus
stay, Eka! Kamu nggak boleh maksain diri kamu!”
Terima kasih Mama dan Papa
tercinta... .
*
Sejak
mentari terbit pagi tadi, kami telah melakukan perjalanan pendakian kami.
Perlahan kini matahari mulai bergerak menuju tepat di atas kepala kami. Dengan
susah payah aku menahan berat carrier bag yang semakin lama terasa semakin
menyiksa punggungku. Lututku juga sudah cukup pegal.
Beruntungnya,
saat ini kami sudah sampai di salah satu pos pendakian. Tak lama kemudian, kami
mendirikan tenda diantara tenda-tenda yang terlebih dahulu sudah berdiri di
sini.
Panas
matahari perlahan mulai lenyap. Hawa dingin berdesir membelai kulit. Aku masih
asyik bercengkerama bersama Abe sesaat setelah sejenak kami tidur siang melepas
lelah di depan tenda kami. Dan, sungguh, jujur ini adalah hal yang paling
menyenangkan. Menikmati pemandangan alam hijau yang tersaji di depan mata
ditemani seorang pujaan hati di sampingku. Terima kasih, Tuhan.
“Abe,
Eka, bantu cari ranting pohon untuk membuat api unggun”. Mas Ari, kakak Abe
memotong pembicaraan kami.
“Ah,
Mas, ganggu saja”. Ucap Abe kesal. Aku yang mendengar Abe berkata demikian
hanya sanggup tersenyum dengan kepala yang menunduk malu.
Aku dan Abe pun mengikuti Mas Ari
menuju hutan pinus dan mengumpulkan ranting serta dahan yang sudah kering.
Jalan setapak
yang sempit penuh belukar kami telusuri. Sejuknya hawa pegunungan membuatku
terlena dan bermalas-malasan untuk mengumpulkan ranting lebih banyak lagi.
Aku
berhenti sejenak. Pandanganku mengedar. Kemudian menatap sebuah pohon hijau
berdaun lebat yang cukup besar di jarak yang tak cukup jauh dariku. Hingga
tiba-tiba kulihat sesosok wanita tua membawa kayu bakar berdiri di samping
pohon itu. Rambutnya penuh warna putih. Wajahnya pucat. Satu tanganya
melingakar menggendong seikat kayu bakar di pinggulnya yang sudah renta.
Matanya menatap tajam ke arahku. Sontak jantungku berdetak lebih cepat.
Aku
berusaha tersenyum pada nenek tua itu, namun tak ada respon. Ia tetap berdiri
kaku dengan tatapan kosong seperti tak bernyawa.
Entah
darimana datangnya, yang kulihat ia sudah berdiri begitu saja di ujung sana.
“Nenek butuh bantuan?”. Tanyaku tanpa sadar meski hatiku takut. Dia tidak
mnjawab. Masih diam. Tapi tangannya melambai padaku, seolah ingin aku
menghampirinya.
Entah
angin darimana yang membawa kakiku melangkah dan mendekat pada nenek tua itu.
Setelah
aku berada cukup dekat dengannya, tiba-tiba ia menghilang. Aku tekejut.
Kupandangi sekitar tempatku berdiri dengan panik. Jantungku berdetak lebih
cepat lagu. Sampai tiba-tiba sebuah tangan dengan cepat menarikku.
“Hei!”
Itu
Abe!
“Kamu
mau kemana, Ka?”
Aku
terkesiap. Lututku tak mampu menopang lagi. Seketika semua menjadi gelap. Aku
tak ingat apa-apa lagi.
*
Kepalaku
terasa berat. Wangi menyengat minyak kayu putih pelan-pelan mengembalikan
kesadaranku. Langit-langit berputar. Pandanganku buram. Samar-samar aku mendengar
suara-suara yang kukenal.
“Alhamdulillah...
Akhirnya kamu sadar juga”. Kudengar Mas Rio menghela napas.
“Aku...
aku kenapa, Mas?”. Seperti terbangun dari tidur yang sangat panjang, pikiranku
kini benar-benar blank.
“Kamu
tadi pingsan di hutan, Ka”. Abe mengingatkan.
“Istirahat
dulu, Ka. Nanti kita bangunkan untuk makan malam”.
Sebenarnya
tubuhku masih lemas, tapi Mas Rio tetap memaksaku karena akan berbahaya jika
seorang pendaki membiarkan perutnya kosong.
“Ashar
Eka pingsan, Maghrib Anin kesurupan. Sebenarnya ada apa ini?”. Mas Anton, salah
satu teman Mas Rio membuka mulut setelah selesai meneguk air putihnya.
Anin
kesurupan? Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, meremang. Mengingat hal-hal ganjil
yang terjadi petang ini. Rasanya aku semakin takut. Belum lagi cerita salah
seorang teman yang mengatakan bahwa Pegunungan Semeru adalah daerah yang cukup
berbahaya. Terselip unsur mistis di antara keindahan alamnya.
Andai
saja saat itu aku menuruti kata-kata mama
untuk tidak ikut dalam pendakian ini, pasti aku tidak akan terduduk
lemas dengan perasaan takut dan was-was yang menghantuiku seperti ini.
Esok
hari, bedasarkan rencana yang telah disusun, kami akan melanjutkan pendakian
dan akan sampai di puncak pukul 07.30 untuk melaksanakan upacara bendera 17
Agustus bersama para pecinta alam lainnya. Tapi dalam keadaanku yang seperti
ini, apakah aku sendiri masih bisa melanjutkan perjalanan? Kurasa perjuanganku
cukup sampai di sini saja. Aku tak ingin hal-hal janggal terjadi lagi padaku.
“Kita
harus tetap melanjutkan pendakian. Nggak mungkin, kan, kita menyerah dan
berhenti di sini? Bisa-bisa kita ditertawakan teman-teman. Sudah berangkat,
tapi nggak sampai puncak”. Ujar Mas Anton saat kami tengah menghangatkan diri
di sekeliling api unggun.
“Ton,
sekarang bukan saatnya untuk menyombongkan diri. Dan alam bukan tempat yang
tepat untuk kamu menyombongkan diri. Apa kamu tidak lihat kondisi Eka dan Anin
sekarang?”. Mas Rio membantah. Ia kakak dan teman yang baik, membela yang
tengah kesusahan. Benar adanya kata Mas Anton, sungguh tidak mungkin aku
mendaki dalam keadaan seperti ini. Belum lagi track yang semakin jauh semakin
sulit.
“Baik,
voting saja. Yang setuju kita lanjut angkat tangan”. Mas Anton, Mas Ari, dan
dua orang lainnya serentak mengangkat
mantap tangan kanan mereka. Kecuali Mas Rio, Aku, dan Mbak Anin yang masih
tertidur lemas di tenda.
Sedangkan
Abe, kulihat ia tampak bimbang. Satu tangannya setengah terangkat, namun tangan
satunya seolah menarik untuk turun lagi.
“Setuju”.
Dengan lantangnya Abe berkata sembari tangan kanannya yang sudah terangkat.
“Oke,
karena tujuan kita ke sini adalah untuk memperingati HUT Indonesia di puncak
Mahameru, maka tujuan itu harus kita capai. Kita nggak boleh lemah sama alam.
Rio, Eka, sama Anin biar stay saja di sini. Untuk yang lainnya, mari kita buktikan pada alam bahwa kita pun hebat!”.
Seru Mas Anton sebelum kami beranjak untuk tidur sejenak.
Malam
hari pukul 23.00, rombongan Mas Anton, minus Aku, Mas Rio, dan Mbak Anin bersiap
melakukan pendakian.
“Jadi,
nanti kita akan melewati jalur pintas itu”. Mas Anton memberi komando pada
kawan-kawannya sebelum berangkat.
“Ada
baiknya kalian lewat jalur resmi saja. Meski lebih jauh, setidaknya track lebih
mudah dan resiko lebih kecil. Tanjakannya sangat curam, cuaca mendung seperti
ini juga berbahaya jika kalian melewati jalur itu” Mas Rio berusaha mengubah
rencana Mas Ari. Ia telah mencari banyak informasi dan cukup tahu mengenai
Gunung Semeru sebelum kami melakukan perjalanan ini.
“Jalur
pintas lerengnya lebih curam, sulit, Mas”. Tambahku. Sungguh aku tidak ingin
sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.
“Justru
yang lebih sulit yang lebih menantang. Pendaki sejati berani tantangan, dong”
Mas Anton menepuk dada bangga. Bahkan belum sampai di puncak pun ia sudah
sombong seperti ini. Bagaimana nantinya?
“Bantu
do’a saja supaya kita selamat sampai pulang nanti”. Abe mengakhiri.
Perlahan
cahaya senter yang mereka bawa mulai menghilang. Tenggelam oleh gelap malam
yang beradu dengan udara dingin yang menusuk hingga tulang-tulang.
Langit
semakin gelap, titik-titik gerimis mulai berjatuhan. Kilat di atas bukit saling
menyambar. Angin bertiup kencang meniup tenda kami.
“Cepat
susul mereka, di puncak terjadi longsor”. Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan
kami berdua yang tengah memandangi wajah alam yang yang mulai berubah seolah
sedang marah. Seseorang berjaket hitam dengan kupluk biru di kepalanya telah
berdiri panik di depan kami.
Aku
merinding mendengar ucapan pria itu. Firasat buruk menghantuiku. Mas Rio tak
tinggal diam. Ia segera bangkit dan berlari meski air terus mengguyurnya. Suara
gelegar petir menyambar. Memekakkan telingaku. Jantungku seperti berhenti
berdetak. Tiba-tiba sesak di dadaku. Pria tadi segera berteriak kencang meminta
bantuan. Aku hanya mematung dengan dingin yang membelenggu.
Berjam-jam
aku menunggu, hingga akhirnya kudengar berita tentang ditemukannya jasad tiga
orang pemuda dan seorang pelajar SMA yang tertimbun longsor.
Aku
masih tak percaya. Diam dan membayangakan apa yang sebenarnya terjadi dengan
teman-temanku. Apakah mngkin alam benar-benar sedang marah? Apakah ini memang
hukuman untuk mereka yang telah menentang alam?
Sampai
pada akhirnya kudengar suara seorang wanita yang tak asing memanggil namaku
berulang-ulang kali. Ia terus mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Merdeka,
bangun!”
“Bangun,
Eka!”. Lanjutnya masih dengan mngguncang pundakku.
Suara
mama terdengar jelas melengking di telingaku.
Jadi, semua
ini hanya mimpi?
“Ayo, bangun,
Eka. Dua jam lagi kamu akan berangkat mendaki ke Semeru!”
*
0 komentar:
Posting Komentar