Selasa, 04 November 2014

Mimpi Sang Pendaki



“Tapi, Ma, Mas Rio saja boleh, kenapa aku enggak?”
            Aku merengek bagai anak kecil yang minta dibelikan mainan. Merajuk, menarik-narik tangan mama dan memaksanya untuk memberi ijin atas kegiatan apa yang ingin aku kerjakan. Sudah dua hari tak henti-hentinya aku memohon, namun mama masih tetap pada pendiriannya. Ia ngotot tidak memberikan ijin padaku.
            “Sudahlah, Ma. Biarkan Eka meneruskan hobi Papa”. Papa datang dari teras depan dengan sebuah koran yang terlipat di tangannya, kemudian duduk di sebelah mama.
            “Tapi Pa,
Eka kan cewek, masih SMA, masih pemula, dan itu bahaya”.  Selalu itu yang mama katakan. Aku cewek, masih SMA, masih pemula, dan ini berbahaya. Oh, ayolah Ma, justru dengan begini aku dapat belajar lebih mengenai gunung dan alam. Dengan kegiatan seperti itu aku akan merasa semakin dekat dengan Tuhan dan seluruh mahakaryaNya yang luar biasa hebatnya. Aku pun juga    






ingin seperti Mas Rio, yang sering diijinkan       menikmati
keindahan alam hijau nun jauh di sana. Mendaki gunung-gunung, dan menapakkan kakinya di puncak sana. Aku iri, Ma!
            Apalagi ini dalam rangka memperingati hari lahir negara tercinta, Republik Indonesia. Yang mana tak pernah terbayang dalam benakku saat mengikuti upacara, hormat kepada Sang Saka Merah Putih di atas puncak Gunung bersama pndaki-pendaki lain yang datang bersama.
            Toh, dalam perjalanan ini aku bersama Mas Rio dan kawan-kawan pendai lainnya. Belum lagi Abe, cowok satu sekolah yang berhasil menarik perhatianku juga akan ikut kakaknya yang mana adalah teman kakakku, Mas Rio dalam pendakian tersebut. Hal ini tentu saja membuatku semakin bersemangat untuk mengikuti perjalanan itu.

            “Baik, Mama ijinkan, tapi kalau kamu sakit sedikit saja, mau tidak mau kamu harus stay, Eka! Kamu nggak boleh maksain diri kamu!”
Terima kasih Mama dan Papa tercinta... .
*





            Sejak mentari terbit pagi tadi, kami telah melakukan perjalanan pendakian kami. Perlahan kini matahari mulai bergerak menuju tepat di atas kepala kami. Dengan susah payah aku menahan berat carrier bag yang semakin lama terasa semakin menyiksa punggungku. Lututku juga sudah cukup pegal.
            Beruntungnya, saat ini kami sudah sampai di salah satu pos pendakian. Tak lama kemudian, kami mendirikan tenda diantara tenda-tenda yang terlebih dahulu sudah berdiri di sini.

            Panas matahari perlahan mulai lenyap. Hawa dingin berdesir membelai kulit. Aku masih asyik bercengkerama bersama Abe sesaat setelah sejenak kami tidur siang melepas lelah di depan tenda kami. Dan, sungguh, jujur ini adalah hal yang paling menyenangkan. Menikmati pemandangan alam hijau yang tersaji di depan mata ditemani seorang pujaan hati di sampingku. Terima kasih, Tuhan.
            “Abe, Eka, bantu cari ranting pohon untuk membuat api unggun”. Mas Ari, kakak Abe memotong pembicaraan kami.
            “Ah, Mas, ganggu saja”. Ucap Abe kesal. Aku yang mendengar Abe berkata demikian hanya sanggup tersenyum dengan kepala yang menunduk malu.
Aku dan Abe pun mengikuti Mas Ari menuju hutan pinus dan mengumpulkan ranting serta dahan yang sudah kering.
Jalan setapak yang sempit penuh belukar kami telusuri. Sejuknya hawa pegunungan membuatku terlena dan bermalas-malasan untuk mengumpulkan ranting lebih banyak lagi.
            Aku berhenti sejenak. Pandanganku mengedar. Kemudian menatap sebuah pohon hijau berdaun lebat yang cukup besar di jarak yang tak cukup jauh dariku. Hingga tiba-tiba kulihat sesosok wanita tua membawa kayu bakar berdiri di samping pohon itu. Rambutnya penuh warna putih. Wajahnya pucat. Satu tanganya melingakar menggendong seikat kayu bakar di pinggulnya yang sudah renta. Matanya menatap tajam ke arahku. Sontak jantungku berdetak lebih cepat.
            Aku berusaha tersenyum pada nenek tua itu, namun tak ada respon. Ia tetap berdiri kaku dengan tatapan kosong seperti tak bernyawa.
            Entah darimana datangnya, yang kulihat ia sudah berdiri begitu saja di ujung sana. “Nenek butuh bantuan?”. Tanyaku tanpa sadar meski hatiku takut. Dia tidak mnjawab. Masih diam. Tapi tangannya melambai padaku, seolah ingin aku menghampirinya.
            Entah angin darimana yang membawa kakiku melangkah dan mendekat pada nenek tua itu.
            Setelah aku berada cukup dekat dengannya, tiba-tiba ia menghilang. Aku tekejut. Kupandangi sekitar tempatku berdiri dengan panik. Jantungku berdetak lebih cepat lagu. Sampai tiba-tiba sebuah tangan dengan cepat menarikku.
            “Hei!”
            Itu Abe!
            “Kamu mau kemana, Ka?”
            Aku terkesiap. Lututku tak mampu menopang lagi. Seketika semua menjadi gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.
*
            Kepalaku terasa berat. Wangi menyengat minyak kayu putih pelan-pelan mengembalikan kesadaranku. Langit-langit berputar. Pandanganku buram. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang kukenal.
            “Alhamdulillah... Akhirnya kamu sadar juga”. Kudengar Mas Rio menghela napas.
            “Aku... aku kenapa, Mas?”. Seperti terbangun dari tidur yang sangat panjang, pikiranku kini benar-benar blank.
            “Kamu tadi pingsan di hutan, Ka”. Abe mengingatkan.
            “Istirahat dulu, Ka. Nanti kita bangunkan untuk makan malam”.
            Sebenarnya tubuhku masih lemas, tapi Mas Rio tetap memaksaku karena akan berbahaya jika seorang pendaki membiarkan perutnya kosong.
            “Ashar Eka pingsan, Maghrib Anin kesurupan. Sebenarnya ada apa ini?”. Mas Anton, salah satu teman Mas Rio membuka mulut setelah selesai meneguk air putihnya.
            Anin kesurupan? Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, meremang. Mengingat hal-hal ganjil yang terjadi petang ini. Rasanya aku semakin takut. Belum lagi cerita salah seorang teman yang mengatakan bahwa Pegunungan Semeru adalah daerah yang cukup berbahaya. Terselip unsur mistis di antara keindahan alamnya.
            Andai saja saat itu aku menuruti kata-kata mama     untuk tidak ikut dalam pendakian ini, pasti aku tidak akan terduduk lemas dengan perasaan takut dan was-was yang menghantuiku seperti ini.
            Esok hari, bedasarkan rencana yang telah disusun, kami akan melanjutkan pendakian dan akan sampai di puncak pukul 07.30 untuk melaksanakan upacara bendera 17 Agustus bersama para pecinta alam lainnya. Tapi dalam keadaanku yang seperti ini, apakah aku sendiri masih bisa melanjutkan perjalanan? Kurasa perjuanganku cukup sampai di sini saja. Aku tak ingin hal-hal janggal terjadi lagi padaku.
            “Kita harus tetap melanjutkan pendakian. Nggak mungkin, kan, kita menyerah dan berhenti di sini? Bisa-bisa kita ditertawakan teman-teman. Sudah berangkat, tapi nggak sampai puncak”. Ujar Mas Anton saat kami tengah menghangatkan diri di sekeliling api unggun.
            “Ton, sekarang bukan saatnya untuk menyombongkan diri. Dan alam bukan tempat yang tepat untuk kamu menyombongkan diri. Apa kamu tidak lihat kondisi Eka dan Anin sekarang?”. Mas Rio membantah. Ia kakak dan teman yang baik, membela yang tengah kesusahan. Benar adanya kata Mas Anton, sungguh tidak mungkin aku mendaki dalam keadaan seperti ini. Belum lagi track yang semakin jauh semakin sulit.
            “Baik, voting saja. Yang setuju kita lanjut angkat tangan”. Mas Anton, Mas Ari, dan dua orang lainnya  serentak mengangkat mantap tangan kanan mereka. Kecuali Mas Rio, Aku, dan Mbak Anin yang masih tertidur lemas di tenda.
            Sedangkan Abe, kulihat ia tampak bimbang. Satu tangannya setengah terangkat, namun tangan satunya seolah menarik untuk turun lagi.

            “Setuju”. Dengan lantangnya Abe berkata sembari tangan kanannya yang sudah terangkat.
            “Oke, karena tujuan kita ke sini adalah untuk memperingati HUT Indonesia di puncak Mahameru, maka tujuan itu harus kita capai. Kita nggak boleh lemah sama alam. Rio, Eka, sama Anin biar stay saja di sini. Untuk yang lainnya, mari kita  buktikan pada alam bahwa kita pun hebat!”. Seru Mas Anton sebelum kami beranjak untuk tidur sejenak.

            Malam hari pukul 23.00, rombongan Mas Anton, minus Aku, Mas Rio, dan Mbak Anin bersiap melakukan pendakian.
            “Jadi, nanti kita akan melewati jalur pintas itu”. Mas Anton memberi komando pada kawan-kawannya sebelum berangkat.
            “Ada baiknya kalian lewat jalur resmi saja. Meski lebih jauh, setidaknya track lebih mudah dan resiko lebih kecil. Tanjakannya sangat curam, cuaca mendung seperti ini juga berbahaya jika kalian melewati jalur itu” Mas Rio berusaha mengubah rencana Mas Ari. Ia telah mencari banyak informasi dan cukup tahu mengenai Gunung Semeru sebelum kami melakukan perjalanan ini.
            “Jalur pintas lerengnya lebih curam, sulit, Mas”. Tambahku. Sungguh aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.
            “Justru yang lebih sulit yang lebih menantang. Pendaki sejati berani tantangan, dong” Mas Anton menepuk dada bangga. Bahkan belum sampai di puncak pun ia sudah sombong seperti ini. Bagaimana nantinya?
            “Bantu do’a saja supaya kita selamat sampai pulang nanti”. Abe mengakhiri.

            Perlahan cahaya senter yang mereka bawa mulai menghilang. Tenggelam oleh gelap malam yang beradu dengan udara dingin yang menusuk hingga tulang-tulang.
            Langit semakin gelap, titik-titik gerimis mulai berjatuhan. Kilat di atas bukit saling menyambar. Angin bertiup kencang meniup tenda kami.

            “Cepat susul mereka, di puncak terjadi longsor”. Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan kami berdua yang tengah memandangi wajah alam yang yang mulai berubah seolah sedang marah. Seseorang berjaket hitam dengan kupluk biru di kepalanya telah berdiri panik di depan kami.
            Aku merinding mendengar ucapan pria itu. Firasat buruk menghantuiku. Mas Rio tak tinggal diam. Ia segera bangkit dan berlari meski air terus mengguyurnya. Suara gelegar petir menyambar. Memekakkan telingaku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba sesak di dadaku. Pria tadi segera berteriak kencang meminta bantuan. Aku hanya mematung dengan dingin yang membelenggu.
            Berjam-jam aku menunggu, hingga akhirnya kudengar berita tentang ditemukannya jasad tiga orang pemuda dan seorang pelajar SMA yang tertimbun longsor.
            Aku masih tak percaya. Diam dan membayangakan apa yang sebenarnya terjadi dengan teman-temanku. Apakah mngkin alam benar-benar sedang marah? Apakah ini memang hukuman untuk mereka yang telah menentang alam?
            Sampai pada akhirnya kudengar suara seorang wanita yang tak asing memanggil namaku berulang-ulang kali. Ia terus mengguncang-guncangkan tubuhku.
            “Merdeka, bangun!”
            “Bangun, Eka!”. Lanjutnya masih dengan mngguncang pundakku.
            Suara mama terdengar jelas melengking di telingaku.
Jadi, semua ini hanya mimpi?
“Ayo, bangun, Eka. Dua jam lagi kamu akan berangkat mendaki ke Semeru!”
                        *







0 komentar:

Posting Komentar